
Oleh: Siti Muyassarotul Hafidzoh*
Judul buku : Gadis Budak: Kehidupan Seorang Perempuan yang Dijual Kakalnya
Penulis : Buchi Emecheta
Penerbit : Serambi Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 380 halaman
Kisah-kisah yang mengabarkan ihwal Afrika kerap kali menyuguhkan berbagai pelanggaran kemanusiaan. Bukan pelanggaran kemanusiaan yang sederhana, melainkan penuh dengan targedi dan jejak yang mengenaskan. Walaupun Nelson Mandela lewat politik Apartheidnya sudah menggelorakan semangat kesetaraan tanpa diskriminasi, tetapi perjuangan Mandela belumlah usai. Masih banyak kasus tragis yang belum dipejuangkan Mandela. Kasus-kasus ini bahkan dilakukan oleh bangsa Afrika sendiri.
Kenyataan pahit ini bisa kita lihat dari tuturan dalam novel bertajuk “Gadis Budak: Kehidupan Seorang Perempuan yang Dijual Kakalnya.” Novel karya Buchi Emecheta ini mengungkap nasib tragis gadis Afrika yang terlunta-terlunta sebagai budak. Perbudakan masih berlangsung karena terjadinya ketimpangan sosial yang begitu tinggi. Ketimpangan ini terkait masalah ekonomi yang masih jauh dari kesejahteraan. Lilitan kemiskinan masih menyandera warga Afrika, sehingga konflik horisontal mudah tertiup kapan saja.
Wajah kemiskinan yang masih akut inilah yang bisa kita teropong dari kisah dalam novel ini. Korban yang lahir nasib tragis itu ternyata adalah perempuan. Itulah yang dialami gadis budak (slave girl). Gadis budak ini terekam dalam jejak seorang anak perempuan bernama Ogbanje Ojebeta. Ojebeta dilahirkan dari keluarga kelas bawah yang miskin. Keduanya orang tuanya sangat menanti hadirnya anak perempuan, agar bisa melengkapi keluarganya yang belum ada anak perempuan.
Kala menginjak remaja, wajahnya wajahnya ditato bermotif daun bayam. Ojebeta sebenarnya terlihat cantik. Penampilannya semakin unik dengan masih lonceng dan kulit kerang yang berbunyi dan berayun ketika dia bergerak. Baginya, lonceng itu adalah jimat. Setelah bapak dan ibunya meninggal dan dia masih berumur tujuh tahun, Ojebeta dijual oleh abangnya dengan harga cuma delapan pound sterling. Namun kakaknya berdalih ini untuk kebaikan Ojebeta karena ketika itu kampungnya sedang dilanda wabah mematikan meski alasan sebenarnya adalah karena dia butuh biaya untuk pesta akil balig demi menjaga gengsinya.
Selama sembilan tahun hidup sebagai budak, Ojebeta banyak belajar tentang kehidupan. Dia mengamati tingkah laku keluarga majikannya. Dia juga banyak belajar dari teman-temannya sesama budak. Ojebeta sadar benar bahwa tragedi perbudakan yang menimpanya dan teman sejawatnya merupakan kisah yang masih terus berlangsung bagi gadis Afrika. Masih banyak gadis lain yang menunggu daftar untuk dijadikan budak yang mengenaskan di berbagai daerah dan negara lain. Daftar tunggu kejahatan inilah yang menyesakkan dada Ojebeta, karena dia tidak mau melihat saudaranya yang lain ikut serta dalam kisah kelam yang sedang menimpanya.
Kisah tragis yang dialami Ojebeta membukakan mata kita semua bahwa tragedi kemanusiaan masih berlangsung kolosal di Afrika. Terlebih nasib perempuan yang masih dianggap sub-obdinat dalam budaya laki-laki. Perempuan Afrika bukan saja terbelakang, tetapi juga selalu dikorbankan untuk kepentingan hasrat laki-laki. Perempuan bukan saja dijual kepada para bajingan dalam negeri, bahkan juga dijual kepada bajingan asing yang menikmati ketangguhan seksual perempuan Afrika. Mereka dieksploitasi untuk kepentingan sesaat kaum laki-laki dan kaum kapital. Berbagai kisah tragis ini terjadi kasat mata, namun dunia masih tutup mata dengan tragedi ini.
Di tengah perhelatan Piala Dunia 2010 saat ini, dunia selayaknya bisa cermat dalam membaca kisah-kisah tragis yang menimpa perempuan Afrika. Buku ini bisa membuka mata warga dunia yang sedang berkunjung di Afrika untuk melihat secara tragedi demi tragedi di berbagai pedalaman penduduk Afrika. Kemeriahan piala dunia memang dahsyat, tetapi kisah tragis yang melanda penduduk Afrika jauh lebih dahyat, karena berlangsung secara kolosal dan terus dijadikan proyek kaum bajingan menumpuk kekayaan. Dunia jangan hanya melihat kemegahan piala dunianya, tetapi camkan juga nasib kelam yang masih merenggut jiwa perempuan Afrika.
Buchi Emecheta mengambil setting kisah tragis dalam novelnya ini pada masyarakat Ibuza, Nigeria. Kisah yang diramu dengan gaya thriller sejarah ini menggugah pembaca ihwal buruknya nasib perempuan di Nigeria, dan Afrika secara umum. Tokoh bernama Ojebeta selalu menggugat kenapa perempuan harus dijadikan budak? Apakah perempuan memang ditakdirkan sebagai budak? Dimanakah kebebasan perempuan? Pertanyaan emansipatoris inilah yang sangat mengemuka dalam berbagai dialog yang suguhkan sang penulis. Dialog-dialog yang mencerminkan usaha penulis membeberkan fakta yang memilukan di berbagai negeri Afrika.
Novel ini sekaligus menggugah kesadarn kaum perempuan Afrika untuk bangkit melawan penindasan yang masih merajalela. Gerakan emansipasi yang terus digugatkan oleh tokoh Ojebeta mencerminkan sebuah kesadaran baru kaum perempuan Afrika untuk merenda masa depan yang lebih proporsional dan egaliter. Jalan egalitarianisme masih terjal, dan Ojebeta mengakui perjalanan hidupnya di tengah tragedi perbudakan masih menjadi memori menakutkan ihwal Afrika yang bengis, tidak ramah. Afrika yang tampak masih sebuah negeri antar-berantah yang kabur, tak berpengharapan.
Bandit dan penjahat yang masih berkeliaran justru menjual negeri sendiri demi kesenangan dan kepentingan sepihak. Menjual negeri sendiri inilah yang sangat digugat sang tokoh, Ojebeta. Momentum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan seharusnya menyembulkan kesadaran baru kepada dunia bahwa bangsa Afrika sejajar dan semartabat dengan bangsa lain. Jangan sampai diremehkan, karena benua bernama Afrika menyimpan misteri yang penuh ketakjuban.
*Pecinta sastra, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Penulis : Buchi Emecheta
Penerbit : Serambi Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : 380 halaman
Kisah-kisah yang mengabarkan ihwal Afrika kerap kali menyuguhkan berbagai pelanggaran kemanusiaan. Bukan pelanggaran kemanusiaan yang sederhana, melainkan penuh dengan targedi dan jejak yang mengenaskan. Walaupun Nelson Mandela lewat politik Apartheidnya sudah menggelorakan semangat kesetaraan tanpa diskriminasi, tetapi perjuangan Mandela belumlah usai. Masih banyak kasus tragis yang belum dipejuangkan Mandela. Kasus-kasus ini bahkan dilakukan oleh bangsa Afrika sendiri.
Kenyataan pahit ini bisa kita lihat dari tuturan dalam novel bertajuk “Gadis Budak: Kehidupan Seorang Perempuan yang Dijual Kakalnya.” Novel karya Buchi Emecheta ini mengungkap nasib tragis gadis Afrika yang terlunta-terlunta sebagai budak. Perbudakan masih berlangsung karena terjadinya ketimpangan sosial yang begitu tinggi. Ketimpangan ini terkait masalah ekonomi yang masih jauh dari kesejahteraan. Lilitan kemiskinan masih menyandera warga Afrika, sehingga konflik horisontal mudah tertiup kapan saja.
Wajah kemiskinan yang masih akut inilah yang bisa kita teropong dari kisah dalam novel ini. Korban yang lahir nasib tragis itu ternyata adalah perempuan. Itulah yang dialami gadis budak (slave girl). Gadis budak ini terekam dalam jejak seorang anak perempuan bernama Ogbanje Ojebeta. Ojebeta dilahirkan dari keluarga kelas bawah yang miskin. Keduanya orang tuanya sangat menanti hadirnya anak perempuan, agar bisa melengkapi keluarganya yang belum ada anak perempuan.
Kala menginjak remaja, wajahnya wajahnya ditato bermotif daun bayam. Ojebeta sebenarnya terlihat cantik. Penampilannya semakin unik dengan masih lonceng dan kulit kerang yang berbunyi dan berayun ketika dia bergerak. Baginya, lonceng itu adalah jimat. Setelah bapak dan ibunya meninggal dan dia masih berumur tujuh tahun, Ojebeta dijual oleh abangnya dengan harga cuma delapan pound sterling. Namun kakaknya berdalih ini untuk kebaikan Ojebeta karena ketika itu kampungnya sedang dilanda wabah mematikan meski alasan sebenarnya adalah karena dia butuh biaya untuk pesta akil balig demi menjaga gengsinya.
Selama sembilan tahun hidup sebagai budak, Ojebeta banyak belajar tentang kehidupan. Dia mengamati tingkah laku keluarga majikannya. Dia juga banyak belajar dari teman-temannya sesama budak. Ojebeta sadar benar bahwa tragedi perbudakan yang menimpanya dan teman sejawatnya merupakan kisah yang masih terus berlangsung bagi gadis Afrika. Masih banyak gadis lain yang menunggu daftar untuk dijadikan budak yang mengenaskan di berbagai daerah dan negara lain. Daftar tunggu kejahatan inilah yang menyesakkan dada Ojebeta, karena dia tidak mau melihat saudaranya yang lain ikut serta dalam kisah kelam yang sedang menimpanya.
Kisah tragis yang dialami Ojebeta membukakan mata kita semua bahwa tragedi kemanusiaan masih berlangsung kolosal di Afrika. Terlebih nasib perempuan yang masih dianggap sub-obdinat dalam budaya laki-laki. Perempuan Afrika bukan saja terbelakang, tetapi juga selalu dikorbankan untuk kepentingan hasrat laki-laki. Perempuan bukan saja dijual kepada para bajingan dalam negeri, bahkan juga dijual kepada bajingan asing yang menikmati ketangguhan seksual perempuan Afrika. Mereka dieksploitasi untuk kepentingan sesaat kaum laki-laki dan kaum kapital. Berbagai kisah tragis ini terjadi kasat mata, namun dunia masih tutup mata dengan tragedi ini.
Di tengah perhelatan Piala Dunia 2010 saat ini, dunia selayaknya bisa cermat dalam membaca kisah-kisah tragis yang menimpa perempuan Afrika. Buku ini bisa membuka mata warga dunia yang sedang berkunjung di Afrika untuk melihat secara tragedi demi tragedi di berbagai pedalaman penduduk Afrika. Kemeriahan piala dunia memang dahsyat, tetapi kisah tragis yang melanda penduduk Afrika jauh lebih dahyat, karena berlangsung secara kolosal dan terus dijadikan proyek kaum bajingan menumpuk kekayaan. Dunia jangan hanya melihat kemegahan piala dunianya, tetapi camkan juga nasib kelam yang masih merenggut jiwa perempuan Afrika.
Buchi Emecheta mengambil setting kisah tragis dalam novelnya ini pada masyarakat Ibuza, Nigeria. Kisah yang diramu dengan gaya thriller sejarah ini menggugah pembaca ihwal buruknya nasib perempuan di Nigeria, dan Afrika secara umum. Tokoh bernama Ojebeta selalu menggugat kenapa perempuan harus dijadikan budak? Apakah perempuan memang ditakdirkan sebagai budak? Dimanakah kebebasan perempuan? Pertanyaan emansipatoris inilah yang sangat mengemuka dalam berbagai dialog yang suguhkan sang penulis. Dialog-dialog yang mencerminkan usaha penulis membeberkan fakta yang memilukan di berbagai negeri Afrika.
Novel ini sekaligus menggugah kesadarn kaum perempuan Afrika untuk bangkit melawan penindasan yang masih merajalela. Gerakan emansipasi yang terus digugatkan oleh tokoh Ojebeta mencerminkan sebuah kesadaran baru kaum perempuan Afrika untuk merenda masa depan yang lebih proporsional dan egaliter. Jalan egalitarianisme masih terjal, dan Ojebeta mengakui perjalanan hidupnya di tengah tragedi perbudakan masih menjadi memori menakutkan ihwal Afrika yang bengis, tidak ramah. Afrika yang tampak masih sebuah negeri antar-berantah yang kabur, tak berpengharapan.
Bandit dan penjahat yang masih berkeliaran justru menjual negeri sendiri demi kesenangan dan kepentingan sepihak. Menjual negeri sendiri inilah yang sangat digugat sang tokoh, Ojebeta. Momentum Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan seharusnya menyembulkan kesadaran baru kepada dunia bahwa bangsa Afrika sejajar dan semartabat dengan bangsa lain. Jangan sampai diremehkan, karena benua bernama Afrika menyimpan misteri yang penuh ketakjuban.
*Pecinta sastra, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
